Motif Persaingan Bisnis Antara Sukhoi (Rusia) versus Boeing (USA) dan Airbus (Eropa)

Crash Sukhoi yang menabrak tebing di Gunung Salak itu karena Sabotase dengan motif persaingan bisnis antara Sukhoi (Rusia) versus Boeing (USA) dan Airbus (Eropa) serta Fokker (Belanda), begitulah bisik-bisik cerita yang beredar di beberapa kalangan.
Ada beberapa indikasi, yang paling tidak terlihat dari 3 buah kejanggalan dan 1 buah hal yang masih patut dipertanyakan lagi kebenaran ceritanya.

1. Turun dari Ketinggian 10.000 Feet ke 6.000 Feet

Sebelum terbang biasanya pihak otoritas pengatur lalu lintas udara memberikan kepada pilot pesawat semacam panduan atau flight plan yang berisi rute, ketinggian jelajah, kecepatan jelajah, dan lain sebagainya.
Sebagaimana diketahui, ketinggian Gunung Salak sekitar 7.000 Feet, lalu mengapa sebuah penerbangan ‘joy flight’ diberikan rute yang melintasi Gunung Salak (tinggi 7.000 Feet) dengan ketinggian jelajah pesawat yang berbahaya yaitu 6.000 Feet, sehingga terjadi crash yang menabrak tebing, seperti terlihat di gambar / foto lokasi kecelakaan.

Kalaupun pilot yang meminta turun ketinggian, mengapa petugas air traffic di menara kontrol koq memperbolehkannya ?.

Kuncinya adalah membuka kembali rencana terbang, mengapa dipilihkan rute yang melintas diatas Gunung Salak ?, lalu apa isi rekaman percakapan terakhir antara Pilot Sukhoi tersebut dengan petugas Air Traffic Control saat pesawat turun ke ketinggian 6.000 Feet padahal ketinggian pegunungan disana sekitar 7.000 Feet ?.

Adakah sudah ada rencana operasi inteljen (kerjasama CIA dengan agen kaki tangan lokal Indonesia) untuk membikin pesawat ini crash dengan memberikan rute melintas diatas Gunung Salak disertai dengan rencana memberikan perubahan ketinggian jelajah (10.000 ft ke 6.000 feet) agar menabrak tebing ?.

2. Fungsi Peralatan ELT dan ELBA

ELT dan ELBA seharusnya secara otomatis akan langsung berfungsi ketika ada crash atau sesuatu yang buruk terjadi atas pesawat itu, tapi kenapa sesudah last contact koq sinyal ELT dan ELBA dari tidak bisa dimonitor di Singapore atau Indonesi serta Australia ?. Apakah kedua alat ini tidak berfungsi ?. Atau, ada sabotase atas kedua alat ini ?.

3. Manifes Penumpang

Sesuatu yang teramat janggal jika disebutkan Manifes Penumpang ikut terbawa oleh seseorang yang ikut terbang dan menjadi korban. Sebuah alibi yang susah dicek silang karena korbannya sudah mati.

Padahal manifes penumpang itu sesuatu yang masuk dalam prosedur baku di sebuah operasi penerbangan.

Adakah seseorang agen yang disembunyikan ?.

4. Informasi dari Intel

Tanpa mengurangi rasa hormat, dan tak membantah bahwa umur manusia adalah ketentuan mutlak dari Allah SWT. Tetapi, adakah sang Mantan Menteri yang urung ikut itu dikarenakan ditelpon oleh seseorang agar mengurungkan niat ikut terbang lantaran pesawat akan disabotase agar crash ?.

Bisa saja, dan kuncinya adalah rekaman percakapan telepon terakhirnya dengan siapa ?.

Demikianlah bisik-bisik cerita yang beredar di beberapa kalangan, yang sangat kental nuansa dan aroma cerita genre konspirasinya. Namun, segala sesuatu mungkin saja terjadi, apalagi dalam persaingan bisnis dan politik.

Untuk mencapai tujuan dan menjaga kepentingannya, apa sih yang tidak dihalalkan oleh Amerika Serikat beserta kaki tangan Inlander Melayu-nya itu ?.

Harus diungkap:
Benarkah Pilot meminta Ijin Untuk Menurunkan ketinggian dari 10.000 Feet menjadi 5800 Feet ?

Pesawat Sukhoi Superjet 100 telah dilengkapi sistem keamanan penerbangan yang super canggih yang dilengkapi dengan MOCA (Minimum Obstacle Clearance Altitude) yaitu sistem pemberitahuan tentang ketinggian minimum pesawat pada radius lokasi tertentu. Berikutnya pesawat ini yang dilengkapi dengan Tactical Airborne Warning System (TAWS) dimana system secara otomatis akan memberikan peringatan dini apabila didepannya ada rintangan berupa gunung/bukit dan rintangan lainnya, serta Ground Proximately Warning System (GPW).

Kedua alat ini biasanya dipasang pada pesawat tempur generasi terbaru, dimana gerakan pesawat yang dikendalikan komputer (yang akan mengambilalih pengendalian secara otomatis apabila pilot tertidur/pingsan) akan bergerak mengikuti kontur bumi sehingga akan meminimalkan tabrakan dgn gunung atau tebing.

Selain dilengkapi dengan "Black Box" yg merupakan alat standar di pesawat, Sukhoi SSJ 100 ini jang dilengkapi dengan Emergency Locator Transmitter (ELT) yang berfungsi sebagai alat peringatan awal yang dikirim via satelit sesaat setelah terjadinya kecelakaan sebelum "Blackbox" memancarkan sinyalnya. Dengan kata lain kecelakaan ini merupakan awal dari dugaan persaingan bisnis produsen raksasa pesawat terbang Amerika-Eropa-Rusia. Tdk heran jika Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev turun tangan langsung membentuk tim penyelidik kecelakaan misterius ini.

Kunci utamanya adalah dengan membuka percakapan terakhir antara pilot dgn ITC bandara Halim dan ITC Soetta secara transparan untuk membuka tabir : Benarkah pilot meminta ijin utk menurunkan ketinggian dari 10.000 ft menjadi 5800 ft ? atau memang adanya dugaan penyadapan/pengacakan komunikasi (jamming radio system) antara Pilot dengan Tower pengendali ? seperti diketahui beberapa negara maju telah menggunakan system ini untuk kegiatan pengamanan kepala negara dan kontra intelejen. Dengan kata lain tidak mungkin pesawatnya baru tapi peralatan canggihnya macet semua kecuali memang ada pihak-pihak lain yang mau "me-recall" pesawat tersebut untuk kepentingan bisnisnya.

Ada indikasi kesalahan seolah-olah ditimpakan ke pilot yang minta turun di 5800 kaki. Pilot tidak dapat diminta konfirmasi/pertanggungjawaban karena ikut menjadi korban. Harus dibuka kemungkinan pilot mendapat "pesan" misterius untuk menurunkan pesawatnya dari sumber yang juga misterius. Disini aparat intelijen Rusia harus membukanya.


Sumber: http://www.theglobal-review.com

Kalo emang beneran persaingan bisnis, kenapa harus korbankan masyarakat indonesia. Sedangkan uji coba di Pakistan n Myanmar malah berhasil.

0 KOMENTAR:

Copyright © 2012 Berita Terbaru.