Sulitnya Memprediksi Calon Pelaku Penembakan Massal

Saat terdakwa pelaku penembakan yang terjadi di Aurora, Colorado, muncul pertama kali ke pengadilan, banyak orang mengamati wajahnya untuk mendapatkan petunjuk mengapa ia menyerang penonton bioskop.

Tetapi meski James Holmes akhirnya mengungkapkan motifnya, jawabannya tidak akan memuaskan, menurut psikolog.

"Bahkan ketika Anda menggabungkan semua fakta yang ada, semuanya tidak akan benar-benar masuk akal," kata Mary Muscari, seorang perawat forensik di Binghamton University di New York yang telah meneliti pembunuh massal. Sejarah penembak massal kadang-kadang menunjukkan gejala yang sama, seperti serangkaian kekecewaan berujung pada pembantaian, kata Muscari. 

Tapi pada akhirnya, penyebab yang mendorong orang untuk melakukan kekerasan tidak pernah diketahui, dan peristiwa-peristiwa itu cukup langka sehingga sulit untuk melakukan generalisasi dari kasus ke kasus.

"Tentu saja ada banyak orang yang memiliki banyak masalah, dan mereka tidak melakukan pembunuhan massal," kata Muscari kepada LiveScience. "Bahkan ketika Anda melihat penyakit mental, kebanyakan orang dengan penyakit mental tidak melakukan kekerasan."

Mencari benang merah
Holmes diduga memasuki bioskop yang menayangkan “The Dark Knight Rises”, tak lama setelah film dimulai pada 20 Juli. Dengan mengenakan pakaian pelindung dan membawa gas air mata dan tiga senjata api, Holmes melepaskan tembakan ke kerumunan, membunuh 12 orang.

Pembunuh massal memiliki pola berbeda yang cukup menyulitkan bagi peneliti untuk menjabarkan benang merahnya, kata Frank Farley, psikolog di Temple University dan mantan presiden American Psychological Association.

"Masing-masing adalah pembunuhan dengan cara-cara yang sama, mungkin, tapi kemudian dengan eksekusi dan motivasi yang berbeda," kata Farley kepada LiveScience. "Sebagai contoh, kebanyakan pelaku laki-laki kulit putih berusia 20-30 tahun. Di sisi lain, ada jutaan laki-laki seperti itu di negera ini."

Dan ada pengecualian untuk setiap tren pembunuhan massal. Seung-Hui Cho, yang membunuh 32 orang dalam penembakan di Virginia Tech pada 2007, adalah warga keturunan Korea. Eric Harris dan Dylan Klebold, para pelaku pembantaian Columbine High School di Littleton, Colorado, masing-masing berumur 18 dan 17 tahun. 

Dalam kasus yang relatif jarang adalah pelakunya seorang perempuan, profesor Amy Bishop dari Universitas Alabama di Huntsville didakwa membunuh tiga orang dan melukai tiga lainnya saat melakukan penembakan di tempat kerja pada 2010.

Pembunuh massal dapat menargetkan orang asing, rekan kerja atau anggota keluarga, kata Muscari. Sebuah motif yang umum adalah balas dendam.

"Balas dendam adalah hal yang umum terjadi," kata Muscari. "Bisa jadi sesuatu yang sangat spesifik terhadap orang tertentu, bisa menjadi hal yang umum di tempat kerja atau sekolah, atau bisa juga sangat menyebar, mereka pergi menembaki sebuah restoran."

Pembunuh massal sering digambarkan sebagai penyendiri yang terisolasi secara sosial, tapi dugaan itu tidak cukup akurat, kata Katherine Newman, seorang sosiolog di Johns Hopkins University yang telah mempelajari penembakan yang terjadi di  SMA dan universitas.

"Bahkan, mereka sangat jarang penyendiri," kata Newman. "Ketika Anda mewawancarai orang yang mereka kenal, mereka akan berkata, 'Dia punya teman. Saya adalah salah satu dari teman-temannya.' Tapi secara umum, pengalaman sosial mereka bukan sesuatu yang mudah."

Dengan kata lain, banyak penembak massal, bukannya ingin menyendiri, malahan mereka memiliki sejarah sulit berkomunikasi dengan orang lain. Mereka mengalami penolakan dari teman sebaya atau mereka tidak ingin menjalin pertemanan, karena takut ditolak jika mereka mencobanya. Kabanyakan dari mereka percaya kalau mereka dianggap tidak penting, ujar Newman kepada LiveScience.

"Mereka ingin terkenal badung, dan sayangnya, ada banyak aturan sosial untuk menjadi terkenal karena kejahatan," katanya. "Mereka membayangkan bagaimana kerennya ketika semua orang tahu nama mereka… Saya tahu ini terdengar tidak logis, tapi dalam beberapa hal, rasa jijik atau ketenaran karena kejahatan lebih baik dari pada anonim dan tidak dianggap, menurut sudut pandang mereka."

Peristiwa ekstrem 
Bahkan sampai sekarang, psikologi  dari pembunuh massal tetap menjadi misteri. Banyak orang berjuang dengan persahabatan, Newman berkata, dan hanya "sebagian kecil, kelompok yang sangat kecil dari mereka yang melakukan seperti ini."

Penembakan massal mungkin tampak sangat jarang dari perspektif ilmiah, kata para peneliti. Telah ada peningkatan bertahap dalam korban pembunuhan, meskipun statistiknya masih rendah: 3,1 persen pembunuhan pada 1976 dan 4,4 persen pada 2005, menurut Bureau of Justice Statistics. Statistik itu mencakup semua kasus pembunuhan dengan korban ganda, tidak hanya kasus seperti di Aurora.

Semakin besar kelompok yang dapat dipelajari psikolog, semakin para pakar dapat menyelidiki penyebab perilaku tersebut, dan mereka akan semakin yakin dengan hasil yang didapat. Pembunuh massal sangat tidak umum.

Menyimpulkan masalah biasanya dengan tes psikologis dan teori-teori yang didasarkan pada psikologi normal. Ini adalah paradigma yang dapat menjelaskan hal-hal seperti kebahagiaan, depresi dan kecemasan, tetapi tidak efektif ketika menghadapi kasus-kasus ekstrem, kata Farley.

"Saya khawatir bahwa kami mungkin tidak bisa memberikan pengertian yang lebih baik akan status kesehatan mentalnya," kata Farley merujuk pada kasus Holmes. "Tidak ada referensi yang cukup."

Meskipun sedikit informasi telah dirilis tentang kesehatan mental Holmes, Farley mengatakan ia akan terkejut jika Holmes adalah seorang psikotik, mengingat dia sudah merencanakan berbulan-bulan untuk pembantaian di Aurora.

Melakukan pencegahan
Farley dan para pakar lainnya yang dihubungi oleh LiveScience hanya bisa berspekulasi mengenai motif Holmes, mengingat sedikit informasi yang tersedia tentang kasus itu. Ada penembakan di masa lalu yang dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana, ujar Farley, menyebutkan pembunuhan dan bunuh diri di University of Iowa pad 1991, di mana seorang teman Farley bersama empat profesor lainnya tewas. Tekanan untuk memenuhi syarat sekolah pascasarjana bisa menyebabkan stres parah, ujar Newman, berpotensi memperburuk kecenderungan untuk berbuat kekerasan.

Ada beberapa pertanyaan yang harus diutarakan, ujar Farley. Tentang bagaimana Holmes terisolasi secara sosial sampai alasan mengapa dia berfokus terhadap Batman, mengecat rambutnya seperti Joker (Berbagai pernak-pernik Batman juga ditemukan dalam apartemen Holmes).

Psikolog yang diwawancarai untuk artikel ini sepakat bahwa masalah yang mendesak adalah menemukan cara untuk mencegah perilaku membunuh ini sebelum terjadi. Bahkan untuk orang yang tidak akan pernah melakukan kekerasan, masalah isolasi sosial dan merasa tidak penting adalah beban yang mengerikan, ujar Newman.

"Ini bukan untuk menangkap penembak, karena kita tahu itu sangat sulit, tetapi sebenarnya untuk mengatasi masalah yang menyebar luas, yang terjadi pada jutaan anak," katanya.

Meskipun tingkat pembunuhan di Amerika Serikat telah menurun dalam beberapa dekade terakhir, psikologi juga harus lebih fokus pada kurangnya kepekaan terhadap masalah kekerasan, ujar Farley. Dia mendesak penelitian khusus untuk mempelajari apa yang disebutnya sebagai "kegelapan" dalam kemanusiaan.

"Saya duduk di sini di Philadelphia dengan 400 kasus pembunuhan per tahun," kata Farley. "Ini bukan hanya pembunuhan massal. Hanya pembantaian sehari-hari."

0 KOMENTAR:

Copyright © 2012 Berita Terbaru.